Kopi Gajah : belajar nihilisme dari sebungkus kopi

Ketika membeli satu renceng kopi gajah untuk persediaan kopi dirumah ada sebuah perdebetan yang cukup sengit antara saya dan ibu. Sebuah perdebetan yang sia-sia tanpa arah dan nirfaedah, tidak juga menemukan nilai baru atau ideologi, yang ada malah terancamnya keharmonisan hubungan darah. Perdebetan itu berakhir setelah saya memutuskan untuk menyerah, karena saya teringat tentang nihilisme.

Ibu saya bilang kopi gajah terlalu kopi, rasanya terlalu asli beda dengan kopi sachet yang biasanya dia minum. Sedangkan bagi saya kopi gajah justru enak karena telah membawa rasa nostalgia. Alasan kami berdua punya dasar yang sangat kuat, dulu ketika saya masih kecil tepatnya SMP,  orang – orang dikampung saya mayoritas minum kopi hasil dari kopi produksi sendiri. Kopi sachet yang kami kenal kala itu cuma kapal api tidak ada merk lain. Setiap warga desa menanam kopi bukan sebagai komoditas untuk dijual tapi untuk dinikmati sendiri, biasanya pohon kopi ditanam sebagai pagar pembatas kebun.

Kami tidak tahu jenis dan nama kopi apa yang ditanam dikebun, hal itu menjadikannya unik karena setiap rumah akan memiliki ciri khas rasa kopi yang berbeda. Selain karena jenis kopi yang tidak ketahui, cara memanggang kopi yang berbeda ikut mempengaruhi rasa. Ada orang yang suka memangganya sampe berwarna hitam, ada juga yang cukup sampe berwarna coklat, bahkan ada yang suka memanggang tidak begitu lama, sehingga bubuk kopinya cenderung berwarna kemerah merahan seperti warna gula merah.

Ibu saya yang sedari kecil hingga menikah cenderung menikmati rasa kopi asli, ketika dia mencoba kopi sachet merk tertentu membuatnya kaget, bagi dia mungkin ini rasa baru hingga lama lama akhirnya jatuh cinta. Sedangkan bagi saya yang setelah lulus sma pergi ke kota dan diperantauan hanya menikmati kopi sachetan membuat saya kangen dengan rasa kopi asli.

Mungkin gampang bagi saya untuk menemukan rasa kopi asli dengan datang ke coffe shop, tapi harganya yang kadang lebih mahal daripada sebungkus nasi goreng gerobak tentu menjadi bahan pertimbangan. Perjalanan mencari rasa kopi asli dalam sebungkus kopi sachet terus saya lakukan, pernah berharap pada kopi nescafe yang sahcet kecil tanpa gula, tapi hmmm..ya begitulah. Hingga akhirnya untuk pertama kalinya mencoba kopi gajah karena sugesti Yayan Ruhyan di iklannya.

Rasa kopi gajah mengingatkan saya pada seduhan kopi yang dibuat nenek saya ketika pagi hari. Apalagi dengan gula terpisah membuat rasanya semakin otentik dengan rasa kopi nenek saya, yang kadang rasa manisnya berubah-ubah. Kadang terlalu manis, kadang pas, kadang terlalu pahit.

Tentu saja rasa nikmat itu subjektif, seperti ibu saya yang menganggapnya tidak enak sedangkan saya yang menggapnya enak. Memperdebatkan mana yg paling enak dan tidak enak  bukan poin utama karena setiap orang punya referensi dan alasannga sendiri, seperti ajaran nihilisme yang mengatakan apa sih  standar enak dan tidak enak itu ? Apa sih benar dan salah itu ? Semua perdebatan makna yang didasarkan penilain pribadi hanya kesia-sian belaka.

Rating : 7

Tinggalkan komentar