Shin Ramyun : belajar menerima diri dari sebungkus mie

Saat membeli mie instan, jujur saja hal pertama yang dicari atau dilihat adalah rasanya. Mie hanya sebagai media rasa saja, tak penting – penting amat kalau dibandingkan bubuk micinnya. Kita hanya ingin menikmati sensasi makanan lain lewat bumbu mie instan. Rasa soto, rasa empal, rasa ayam geprek, rasa mie aceh, disadari atau tidak sebenarnya kita hanya  memanfaatkan mie instan sebagai pelampiasan untuk menikmati makanan aslinya tapi enggan mengeluarkan uang lebih banyak. Hal itu saya sadari setelah menghabiskan semangkuk Shin ramyun.

Kita tak pernah bisa menerima mie sebenar -benarnya mie itu sendiri. Beda dengan nasi yang bisa kita nikmati hanya dengan menambahkan garam saja, apakah kamu bisa makan mie hanya dengan taburan garam ? Saya yakin tidak.   Awalnya mie mau saya sama kan dengan air. Air yang bersifat netral dan tawar hanya media untuk berbagai minuman serbuk buah lalu rasa air berubah, sama dengan mie yang memiliki rasa tawar hanya media untuk berbagai bumbu serbuk aneka rasa makanan, tapi setelah dipikir lagi air bisa kita terima dengan mudah saat dia menjadi dirinya sendiri tanpa tambahan serbuk rasa buah dan kalau mie apakah bisa dinikmati tanpa bumbu ?

Saat menikmati Shin ramyum ini saya baru tahun bahwa beginilah rasanya mie yang sejati, polos tanpa balutan rasa. Kuahnya hanya mengandalkan jamur sebagai rasa gurih, rasa asin sedikit dominan daripada rasa pedas, padahal dibungkusnya tertulis gourmet spicy. Rasanya begitu light, jauh berbeda dengan mie – mie instan korea yang selama ini pernah saya cicipi yang biasanya bercita rasa kuat.

Shin ramyun mengingatkan saya mungkin untuk menjadi diri sendiri dan menerima apa adanya diri kita rasanya akan seperti dirinya yang hambar, polos dan membosankan. Saya tahu diluar sana banyak yang menyukainya, tapi bagi saya pribadi sebagai jiwa muda yang sedang meledak ledak saya tidak menyukai Shin ramyun dengan segala kesederhanaan rasanya.

Tidak ada yang salah dengan rasanya mienya, hanya saja saya lebih suka mie dengan rasa yang power full, dengan berbagai rasa. Balik lagi ke paragraf awal yang bagi saya bahwa fungsi mie instan selain sebagai kalori tubuh tapi juga sebagai penolong bagi rakyat yang ingin menikmati rasa makanan asli tapi uang tidak cukup membelinya, bayangkan harga rendang dirumah makan padang berapa, tapi hanya dengan 3.500 saja kamu sudah bisa melampiaskannya lewat indome goreng rasa rendang.

Tapi saya bisa mengerti, produk yang sudah berusia 36 tahun ini mungkin kalau di indonesia setara dengan mie instan rasa ayam bawang. Rasa pertama sebelum mie instan rasanya bervariatif seperti sekarang, mungkin lidah saya yang terlalu lama digempur dengan rasa micin yang kuat, hingga lupa dari rasa sederhana mie instan pertama. Kalau dipikir – pikir lagi saya juga sudah lama tidak makan mie instam rasa ayam bawang.

Shin ramyun terima kasih untuk mengenalkan rasa sejati mie dengan kuah jamur pada lidah saya. Mungkin rasamu tidak sederhana, mungkin hanya lidah saya saja yang sudah kebas dengan rasa micin.

Tinggalkan komentar